TRADISI RUWAHAN
DESA TAMBAKBOYO, TAWANGSARI,
SUKOHARJO

Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah
Islam dan Budaya Jawa dengan dosen pengampu Mibtadin Anis, S.Fil, M.Si
Nama
:
Mutia Suryandari (123221206)
Program
Studi Pendidikan Bahasa Inggris
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Institut
Agama Islam Negeri Surakarta
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Ruwahan di bulan Sya’ban (atau Ruwah) dalam budaya
Islam Jawa adalah tradisi yang selalu dilaksanakan sepuluh hari sebelum bulan
Puasa (Ramadhan). Semua
rangkaian acara ruwahan bertolak dari keimanan pada Tuhan agar dalam hidup ini mereka
yang tengah hidup di dunia mengingat akan asal-usulnya (sangkan paraning
dumadi) yang secara biologis adalah mengingat leluhur yang melahirkan
kita. Mengingat arwah leluhur dan merenungi kehidupan manusia yang
sementara seraya berdoa untuk mereka yang
telah mendahului merupakan inti dari tradisi di bulan Ruwah ini. Ini
adalah pengejawahtahan dari hadis yang mengatakan bahwa satu dari amal yang
tidak putus ketika orang telah meninggal adalah doa anak yang saleh. Adapun
acara ritual
bersih kampung,
, hingga kenduri adalah paktik doa bagi semua keluarga sanak saudaranya yang
masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk
siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi
kesadaran orang Islam Jawa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH RUWAHAN
Hampir
tak ada yang tahu persis kapan sebenarnya
tradisi ruwahan bagi orang Jawa dilaksanakan.
Namun dalam ajaran Islam, bulan Sya’ban
yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan
manusia.Maka, di sejumlah tempat diadakan sadranan yang maknanya adalah
melaporkan segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun, untuk
nantinya manusia berintrospeksi. Dalam
masyarkat Jawa tradisi atau ritual Ruwahan sudah ada pada zaman Hindu-Budha.
Ruwahan bukanlah tradisi asli dari Jawa melainkan peninggalan dari agama
Hindu. Pada saat itu ruwahan disebut dengan tradisi upacara srada namun
kemudian masyarakat Jawa lebih mudah menyebutnya dengan upacara nyadran. Pada
saat nyadran masyarakat membawa uborampe seperti kembang, apem, ketan kukus,
kolak, menyan dan air kekuburan. Kemudian meminta ketentraman dan kebahagiaan
kepada leluhur yang ada di daerah tersebut. Kemudian setelah agama Islam masuk
ke pulau Jawa. Budaya yang sudah lestari tidak dihilangkan tetapi dimasuki
dengan unsur-unsur islam. Wadahnya masih nyadran namun isisnya diganti dengan
doa-doa islam.
Saat itu, ruwahan dimaknai sebagai
sebuah tradisi yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan
memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad
ke-13, tradisi ruwahan yang ada pada zaman Hindu-Buda lambat laun terakulturasi
dengan nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran
Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah
perpaduan ritual, salah satunya budaya ruwahan. Oleh karena itu, ruwahan bisa
jadi merupakan akomodasi para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah
Jawa.
Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang
efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun
menjadi media siar agama Islam. Selain ritual ruwahan, salah satu kompromi atau
akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang
dikuburkan.
Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak
anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan
sang arwah, sewaktu-waktu. Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa,
mudik terdiri atas dua arus. Arus besar pertama terjadi dalam rangka
menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.
B. PENGERTIAN
TRADISI RUWAHAN
Ruwahan sebenarnya mengacu pada nama dalam
sistem penanggalan Jawa, yakni bulan Ruwah. Dari nama ini muncullah istilah
Ruwahan. Dalam pengertian umum ruwah sering dimaknai sebagai “ngluru arwah”
atau bersilaturahmi kepada arwah. Bulan Ruwah dalam sistem kalender Jawa
biasanya bersamaan dengan bulan Syaban pada sistem kalender Hijriyah. Bulan
Syaban sendiri merupakan bulan sebelum bulan Ramadhan (puasa). Oleh karena itu
pula Ruwahan lalu dikaitkan pula dengan persiapan menjelang atau memasuki bulan
Ramadhan. Ramadhan yang identik dengan matiraga atau penyucian diri itu diawali
dengan Ruwahan yang biasanya diisi dengan mendoakan arwah leluhur dan bermaafan
dengan tetangga serta sanak saudara.
Tidak jelas benar kapan tradisi ruwahan ini
mulai muncul. Akan tetapi hal demikian dapat diduga merupakan perkembangan dari
sebuah tradisi yang telah lama ada di hampir semua wilayah atau daerah di
Nusantara, yakni tradisi penghormatan kepada arwah leluhur. Hal demikian
sebenarnya juga menjadi petunjuk bahwa sudah sejak lama masyarakat Jawa
mempercayai adanya kehidupan abadi setelah kehidupan di dunia. Artinya, arwah
orang meninggal adalah abadi. Arwah di alam abadi inilah yang oleh masyarakat
Jawa dirasa perlu “dikaruhake” (disapa, diajak dialog).
Selain makna tersebut, ritual ruwahan merupakan wujud bakti dan rasa
penghormatan kita sebagai generasi penerus kepada para pendahulu yang kini
telah disebut sebagai Leluhur.
Ruwahan didasari oleh kesadaran spiritual masyarakat kita secara turun-temurun,
di mana kita hidup saat ini telah berhutang jasa, berhutang budi baik kepada
alam dan para leluhur pendahulu yang telah mendahului kita. Bulan Arwah juga
merupakan saat di mana kita harus “sesirih” atau bersih-bersih diri
meliputi bersih lahir dan bersih batin. Tidak hanya membersihakan diri pribadi
tapi juga membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal.
Yang paling penting dari tradisi Ruwahan
yang sudah turun temurun sejak ratusan atau bahkan mungkin ribuan tahun silam
itu adalah terjadinya interaksi dan bahkan komunikasi dua pihak. Yakni pihak orang-orang yang masih hidup
dengan pihak leluhur. Bahkan
saat bulan Arwah tiba, para leluhur menghentikan “aktivitasnya” untuk suatu
“aktivitas” khusus yakni menyambut anak cucu keturunannya, maupun semua orang
yang melakukan kegiatan bakti kepadanya, yang diwujudkan dalam berbagai
kegiatan seperti membersihkan makam, sedekah dan sesaji, komat-kamit mengucapkan
doa, dikir, mengucapkan mantera dan berbagai kalimat yang keluar dari hati
nuraninya yang intinya berusaha sambung rasa dengan para leluhurnya.
C.
TATA CARA TRADISI RUWAHAN
Tradisi Ruwahan mempunyai
tatacara yang sederhana saja. Yakni diawali dengan membuat sesaji, yaitu
sesuatu yang bermakna. Berupa kolak pisang, kolak ubi jalar, ketan kukus, serta
makanan tardisional bernama kue apem.
Kolak pisang dan ubi jalar berupa kolak kering (hanya direbus dengan air gula
dan santan kelapa ). Dapat juga ditambahkan dan ditambahkan sedikit garam, kayu
manis, dan cengkeh. Sementara itu kue apem
dibuat dengan bahan dasar terdiri dari tepung beras, gula jawa atau gula merah,
bisa juga ditambah santan kelapa dan parutan kelapa sesuai selera. Adapula yang
menambahkannya dengan buah nangka ke dalam adonan kue apem. Selanjutnya adonan dicetak bundar-bundar di atas tungku
api. Untuk ketan, cukup dikukus atau diliwet sebagaimana umumnya memasak ketan.
Setelah ubo rampe sesaji ruwahan selesai dibuat dan siap saji, selanjutnya
siap untuk dibagi-bagikan kepada para tetangga. Biasanya minimal kepada 7
Kepala Keluarga, atau bisa lebih hingga 17 Kepala Keluarga. Sesaji itu
seluruhnya berupa makanan tradisional. Itu karena leluhur yang hidup di masa
lalu kemungkinan besar makanan favoritnya sebatas sebagimana sesaji yang ada di
dalam tradisi ruwahan itu. Karena leluhur dapat menyampaikan pesan-pesan kepada
anak cucu keturunannya atau orang-orang yang mampu berkomunikasi. Ada yang
melalui mimpi, bisikan atau wisik, melalui suatu pertanda alam, melalui rasa
sejati, dan bahkan melalui penglihatan visual. Selain alasan di atas, makanan
tradisional yang dipilih dalam sesaji tentunya masing-masing mempunyai arti.
Sehingga dapat dikatakan, makanan atau ragam sesaji merupakan bahasa simbol
yang dapat mewakili sejuta kata dan ribuan kalimat. Dengan sesaji, maksud dan
tujuan yang sangat luas jika dijabarkan satu-persatu, dikemas menjadi ringkas
padat dan berisi. Sebagaimana pepatah dalam spiritual Jawa yang mengatakan,”ngelmu
iku yen ginelar bakal ngebaki jagad, yen ginulung sak mrico jinumput”.
Ilmu jika digelar akan memenuhi jagad raya, jika dilipat (diringkas) dapat
menjadi sekecil biji merica.
Ragam
& Makna Sesaji Tradisi Ruwahan
1.
Ketan “ke-mut-an” artinya terkenang, teringat. Maksudnya teringat akan
apa yang dilakukan di masa lalu. Jangan melupakan sejarah, yakni jasa
kepahlawanan, pusaka warisan, dan peninggalan para leluhur yang hidup di masa
lalu. Yang dapat dinikmati oleh generasi penerus, anak turunnya yang hidup di
masa kini. Ketan bersifat lengket bermakna pula harapan adanya tali rasa yang
akan menjadi perekat hubungan antara leluhur dengan anak cucu keturunannya dan
semua orang yang menghaturkan sembah bakti kepadanya.
2.
Kolak
pisang mewakili pala gumantung, hasil bumi yang buahnya menggantung. Dibuat
untuk mengingatkan kita selalu teringat akan kesalahan yang pernah kita lakukan kepada orang tua dan
para leluhur serta kepada Sang Jagadnata. Sehingga kita menjadi orang yang
selalu mengevaluasi diri dan setiap saat mau berbenah diri. Selain itu, pala gumantung mengingatkan kita
supaya batin dan rasa sejati masih tetap tersambung dengan Gusti Sang
Jagadnata, termasuk kepada para leluhurnya yang telah hidup di alam sejati.
3.
Kolak
ubi jalar mewakili pala
kependem, hasil bumi yang buahnya berada di dalam tanah. Dibuat untuk
melambangkan adanya kesalahan para leluhur kepada sesama manusia. Selain itu, pala kependem, memiliki pesan bahwa
manusia hendaknya tetap berpijak di bumi. Memiliki sifat-sifat humanis, serta mulat
laku jantraning bumi, yakni perilaku manusia yang andap asor tidak sombong, congkak, takabur, sikap
mentang-mentang, golek benere dewe, golek butuhe dewe, golek
menange dewe. Sebaliknya harus mencontoh sifat-sifat bumi yang selalu
memberikan berkah sekalipun bumi diinjak-injak oleh manusia dan seluruh makhluk
penghuninya. Pala kependem yang diolah menjadi makanan kolak ubi jalar,
mengingatkan kita hendaknya menjadi orang selalu melakukan “tapa mendhem”
(bertapa mengubur diri) yakni mengubur segala amal kebaikan yang pernah kita
lakukan pada orang lain dari ingatan kita. Agar supaya tidak mencemari
ketulusan kita dan di suatu saat tidak membangkit-bangkit kebaikan kita pada
orang lain.
4.
Apem dibuat untuk melambangkan adanya harapan suatu ampunan akan kesalahan di
masa lalu. Kue apem berbentuk
bundar atau bulat melingkar. Sebagai perlambang adanya kebulatan tekad dalam
melaksanakan ritual, yakni kemantaban hati untuk mewujudkan rasa berbakti
kepada leluhur bukan hanya sebatas ucapan dan kata-kata dalam doa.
Lebih dari itu diwujudkanlah dalam sikap, tindakan, dan perbuatan nyata dalam
kehidupaan sehari-hari, dalam hal ini kegiatan bersih-bersih meliputi jagad
kecil dan jagad besar. Di dalam kue apem terdapat bahan-bahan berupa beras
ketan, kelapa/santan, gula dan sedikit garam, serta bahan pengharum makanan.
semua bahan dibuat adonan, kemudian dibakar dalam cetakan bundar-bundar. Semua
itu memuat pesan yakni adanya proses dalam kehidupan dan pentingnya
penyelarasan dan harmonisasi antara jagad
kecil dengan jagad besar
dalam kehidupan semesta ini.
5.
Nasi gurih dan ingkung
Nasi gurih serih disebut juga sega atau
nasi suci. Hal demikian juga melambangkan kesucian hati. Sedangkan ingkung utuh
melambangkan kepasrahan diri manusia kepada Sang Khalik.
6.
Berbagi
Sedekah. Selanjutnya semua ubo rampe dapat dikemas dalam dus, atau cukup disajikan
di atas piring untuk selanjutnya dibagi-bagikan kepada para tetangga. Maknanya
adalah manusia hidup di bumi ini hendaknya mau saling berbagi, bersedekah, dan
berwatak saling mengasihi kepada sesama dan seluruh makhluk.
D.
MAKNA RITUAL TRADISI RUWAHAN
Selama bulan
arwah atau Ruwah, masyarakat
melakukan ritual bersih-bersih desa, kampung, makam, dan rumah.
- Bersih-Bersih Makam
Merupakan wujud kesetiaan dan rasa berbakti generasi penerus atau anak
turun kepada para leluhurnya. Kesetiaan dan bakti akan tumbuh seiring kesadaran
spiritual seseorang yang dapat memahami betapa kita hidup sekarang ini telah berhutang
budi, berhutang nyawa, berhutang kemerdekaan bangsa, berhutang hutan yang hijau
dan tidak rusak, sungai yang jernih, lautan masih menyimpan kekayaaan besar,
berhutang budi baik dan pengorbanan, maupun berhutang harta benda warisan dari
orang-orang yang menurunkan kita semua. Bersih-bersih makam merupakan salah
satu cara berbakti yakni untuk membalas kebaikan para leluhur atau
pendahulunya.
- Bersih-bersih sungai, desa, ladang dan rumah
Merupakan
wujud penghargaan dan rasa terimakasih kita kepada alam, kepada bumi yang telah
melimpahkan rejeki bagi manusia. Tanah yang subur, hutan yang menghijau,
sungai-sungai mengalir jernih. Semua itu merupakan berkah agung dari Sang Hyang
Jagadnata, berkah yang masih mengalir karena perilaku dan sikap bijaksana para
leluhur pendahulu bangsa yang hidup di masa lalu. Mereka tidak merusak
dan mengeksploitasi hutan, gunung, sungai, lautan karena kesadaran super-egonya
bahwa anak cucu keturunannya, dan generasi penerus bangsa kelak masih sangat
membutuhkan semua itu.
3.
Ziarah/Nyekar
atau menabur bunga di pusara leluhur
Kegiatan itu bermakna sebagai “atur sembah bekti” atau sikap
menghaturkan rasa berterimakasih, sikap berbakti, sekaligus wujud nyata rasa welas asih, dan penghormatan
setingginya atas seluruh jasa dan budi baik leluhur di masa lalu. Meskipun
menabur bunga belumlah sebanding dengan jasa-jasa leluhur kepada kita
semua, kepada bangsa ini namun hal itu masih lebih berharga daripada hanya
sekedar di rumah duduk manis sambil komat-kamit mengirim doa. Itu adalah
perilaku golek penake dewe, lebih suka mencari-cari alasan pembenar atas
sikapnya yang selalu mencari enaknya sendiri, daripada berkorban beaya, waktu
dan berusaha yang nyata.
4.
Kenduri
Acara kenduri ini diawali dengan membaca surat Yasin secara bersamaan.
Selanjutnya membaca kalimat thayyibah atau tahlil dan diakhiri dengan doa untuk
leluhur. Sebelumnya tokoh masyarakat menceritakan tentang cerita para leluhur
dusun, para wali serta para malaikat. Sebelum doa juga diadakan shalawat untuk
Nabi Muhammad SAW. Nasi gurih dan uborampe diberikan kepada para undangan.
Dikiaskan sebagai berkah untuk dimakan keluarga sendiri.
BAB II
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tradisi ruwahan merupakan salah satu tradisi budaya
Jawa yang masih berlangsung di beberapa wilayah hingga saat ini. Tradisi
ruwahan diakan pada bulan ruwah tepatnya sepuluh hari sebelum memasuki bulan
puasa. Ritual tardisi ruwahan ini diawali dengan pembuatan ubo rampe seperti
ketan, kolak pisang, kolak ubi jalar, apem, nasi gurih dan ingkung. Selanjutnya
diadakan bersih-bersih lingkungan sekitar, membersihkan makam atau kuburan dan
kemudian kenduri. Tradisi ini bertujuan untuk menghormati arwah para leluhur
dan mensucikan diri sebelum memasuki bulan suci Ramadhan.
B.
SARAN
Sebagai masyarakat Jawa hendaknya kita ikut
melestarikan nilai-nilai tradisi daerah agar tidak hilangseiring dengan
perkembangan zaman dan mengambil sisi positif dari adanya tradisi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar